#Ask ARunner – Dimas Seto & Perjalanan Menuju Tokyo Marathon 2017

Simak transformasinya dari pelari amatir menjadi pelari semi elit.  

Pengantar: Pada tanggal 26 Februari 2017, di Tokyo, Jepang, akan diadakan Tokyo Marathon.  Lomba lari yang termasuk World Major Marathon ini cukup populer di kalangan pelari Indonesia, tak terkecuali bagi Dimas Seto, aktor. Tahun ini menandai tahun ketiganya berpartisipasi di Tokyo Marathon. Meski demikian, ada yang berbeda dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tahun ini, Dimas tergabung dalam program Pocari Sweat Sport Science bersama dua atlet nasional, Agus Prayogo dan Asma Bara, serta Melanie Putria. Simak bagaimana program latihan ini mengubah  Dimas yang adalah seorang pelari amatir menjadi pelari semi elit.  

RUNNERid (RI):  Apa yang membedakan program latihan tahun ini dengan dua tahun sebelumnya?

Dimas Seto (DS):  Program Pocari Sweat Sport Science sifatnya terpadu. Sport science itu sendiri punya empat pilar yaitu fisiologi, nutrisi, psikologi, dan sport medicine. Masing-masing pilar punya pakarnya sendiri. Semuanya dipadukan untuk menghasilkan suatu program latihan yang tujuannya untuk meningkatkan perfomaku.

Aku mendapat banyak ilmu dari program latihan ini. Salah satunya dari sisi psikologi. Terus terang, dulu aku mengabaikan hal ini. Padahal, ilmu psikologi penting untuk mengetahui bagaimana daya tahan pelari saat dalam tekanan, daya juangnya, dan bagaimana ia menyusun strategi. Jarak 42,195 kilometer (km) kan tidak pendek, sehingga perlu strategi agar target tercapai.  

RI: Bagaimana pengaruh faktor psikologi untuk Dimas?

DS: Melalui tes psikologi yang aku kerjakan di awal program, ketahuan aku tipe yang kepikiran. Tesnya serius, lho; 5 jam! Waduh… mending disuruh lari 42 km daripada ngerjain tes itu lagi. Salah satu ciri orang dengan tipe kepikiran adalah susah tidur. Dan rupanya ini dialami oleh banyak orang, termasuk aku. Untuk mengatasinya, aku diajarkan teknik-teknik relaksasi.  Psst, tes psikologi tersebut juga mengetes IQ. Ternyata IQk-ku di atas rata-rata, lho, hehehe.  

RI: Dari sisi nutrisi, ilmu apa yang Dimas dapatkan?

DS: Kami menjalani tes darah terkait hal ini. Ada yang lucu. Aku ternyata kekurangan vitamin D. Hal yang sama dialami Agus dan Bara, padahal mereka sudah item, hehehe. Rupanya orang Indonesia cenderung kekurangan vitamin D. Saat aku disuruh konsumsi suplemen, aku memilih ‘obat’ berjemur di bawah sinar matahari. Katanya boleh asal… berjemurnya pada pukul 10 – 12 siang dan dilakukan selama tiga bulan. Waaah, nggak jadi, deh, aku pilih suplemen saja, hahaha. Ini adalah sesuatu yang tidak aku ketahui sebelumnya. Kini aku konsumsi suplemen 1.000 – 2.000 miligram untuk memenuhi kebutuhan vitamin D.  

RI: Sekarang mari bicara latihan. Seperti apa latihanmu?

DS: Sudah seperti atlet, hehehe, seminggu full. Program latihan kami disusun meningkat secara bertahap. Aku berikan gambaran program latihan di masa puncak:

Senin: Lari 12-13 km, pace 6:20.

Selasa: Latihan lactate threshold. Lari 10 km dengan pace tinggi 5:20 – 5:40.

Rabu: Seperti latihan hari Senin.

Kamis: Latihan kekuatan otot.  Tubuh/ kaki kiriku lebih lemah daripada yang kanan. Jadi fokus latihanku adalah memperkuat kaki kiri agar tidak ‘ketinggalan’ dengan yang kanan.  Kebanyakan latihannya adalah dengan beban tubuh sendiri. Untuk variasi, aku latihan TRX. 

Jumat: Latihan interval. Polanya seperti ini: lari 300 meter, istirahat 2 menit, lari 500 meter, istirahat 2 menit. Itu satu set, diulangi 10 kali sehingga total 8 km. Pace-nya 4:30 – 4:40.

Sabtu: Recovery run 10 km dengan pace rendah yaitu 7:00.

Minggu: Long run 24 km dengan pace 6:30.  

RI: Wow! Tampaknya memang sudah sah jadi pelari semi elit. Kalau begitu, share dong targetnya? 

DS: Program latihan ini memang menuntut pengorbanan dan komitmen. Banyak hal yang saya kesampingkan agar bisa all out menjalaninya. Untuk target, tentu ingin lebih baik dari personal best saya yang 4:50. Tapi saya tidak ingin terbebani, mengalir saja, supaya jadi surprise.  

RI: Selain latihan, apa persiapan lain untuk Tokyo Marathon 2017?

DS: Di dua Tokyo Marathon terdahulu cuacanya berbeda 180 derajat. Tahun 2015, hujan dan suhu dingin. Tahun 2016, cuaca cerah dan suhu 12-15 derajat Celcius. Jadi, cuacanya nggak ketebak. Paling enak adalah cuaca yang sejuk karena suhu yang terlalu dingin juga bisa menurunkan performa. Aku sih, berharap cuaca tahun 2017 akan seperti 2016. Tapi aku akan mempersiapkan baju untuk dua kemungkinan cuaca tersebut.

Untuk sepatu, aku memakai ASICS. Dalam program latihan ini, aku memakai tiga sepatu. Untuk lari di luar ruangan, aku memakai GT 2000. Bagian bawahnya lebih nge-grip sehingga nyaman dipakai terutama di permukaan yang kurang stabil. Untuk latihan di gym atau treadmill, aku memakai Nimbus 19. Sedangkan untuk race nanti, aku akan memakai Dynaflyte. Sepatu ini memang aku persiapkan untuk dipakai saat lomba. Karena itu, sepatu inilah yang paling sering aku pakai untuk latihan. Tujuannya agar kakiku terbiasa dan aku bisa menjalani race minim cedera.

 

Lihat Koleksi Lengkap →

 

Lihat Koleksi Lengkap →